Menurut Desainer serta pengamat mode Masa M. Soekamto,
kebebasan seorang berekspresi, mendobrak pakem-pakem berbusana. Pada akhirnya, tata langkah atau kepantasan
berbusana juga alami pergeseran atau tak akan dikira untuk hal yang utama. Sebelum saat th. ’90-an, sekreatif apapun
industri pekerjaannya, celana jeans dikira tak layak dikenakan untuk ke kantor,
terlebih legging. “Yang membedakan ciri-ciri atau style berbusana pekerja
industri kreatif dengan korporat waktu itu yaitu keberanian mereka bereksperimen
dengan trend fashion, warna, serta aksesories, ” tutur Masa. Misalnya legging.
Menurut wikipedia. com, pada saat Renaissance, era ke-13 sampai 16, legging
yaitu baju penghangat kaki oleh pria ataupun wanita. Di Amerika, legging
dipakai beberapa cowboy dibalik celana mereka, untuk pelindung waktu berkuda.
Legging mulai jadi sisi dari product fashion pada th. ‘60-an. Waktu itu,
legging selama 1/2 betis kerap dipakai untuk baju musim panas atau semi.
Bersamaan trend fashion yang bertukar, keberadaannya juga mulai tergantikan.
Legging seringkali dikenakan untuk baju olahraga atau menari. Kehadiran legging
kembali naik kelas pada pertengahan th. 2000-an.
Kreatifitas pekerja industri mode memegang fungsi utama
disini. Tak sedikit desainer
serta rumah mode yang bereksperimen dengan legging dalam fashion show mereka. Juga,
rumah mode Marni dari Italia keluarkan legging untuk pria. Pendobrakan
pakem-pakem itu juga berlangsung pada baju muslim. Bersamaan dengan
berkembangnya industri mode baju muslim, bila dahulu pilihan cuma terbatas pada
abaya (dress panjang berpotongan lurus) atau pakaian kurung, dengan beberapa
warna gelap atau pastel, saat ini beberapa wanita berjilbab mempunyai pilihan
lebih luas dalam mengekspresikan dianya. Pilihan jenis jilbabnya juga
benar-benar bermacam, tak terbatas pada jilbab instan bertopi atau jilbab scarf
sisi empat memiliki bahan sifon. Orang-orang serta kebudayaan memanglah
senantiasa beralih, maka ketentuan-aturan berbusana juga senantiasa alami
pergantian. Namun, Irwan merekomendasikan, terus ada prinsip-prinsip basic yang
butuh di perhatikan. “Dalam konteks baju muslim, butuh dimengerti dahulu
ketentuan-aturan basic baju muslim itu sendiri, yaitu tutup aurat, tak ketat,
tak menerawang, serta tak mirip pria.
Tata langkah kenakan pakaian menurut budaya barangkali
senantiasa beralih, namun tata langkah kenakan pakaian menurut agama mempunyai
ketekunan dari saat ke saat, ” jelasnya. Menurut Masa, dunia yang sudah semakin datar bikin info lebih gampang dibuka
serta memperoleh semakin banyak rekomendasi. “Adanya keberanian serta
kreatifitas para desainer baju muslim,
seperti Dian Pelangi, sangat mungkin wanita muslimat ikuti ketentuan syariat
yang diputuskan, dan terus tampak
fashionable serta ekspresif, ” katanya. Mencermati ketentuan berbusana tak berlaku untuk wanita berjilbab saja,
namun juga wanita mana juga. “Boleh saja lebih kreatif memadu-padankan baju.
Terlebih baju kan wujud ekspresi diri. Namun, terdapat banyak tata langkah
berbusana basic yang juga utama dimengerti. Persoalannya, dalam lingkup
kehidupan sosial menyangkut peran kita untuk istri, ibu, atau pekerja, jati
diri diri kita bukan sekedar terbatas pada jati diri pribadi saja, ” ungkap
Masa. Kita bukan sekedar
merepresentasikan diri kita untuk individu, namun juga sisi dari pasangan,
anak, sampai perusahaan tempat kita bekerja. Pengucapan Umberto Eco, seseorang
pakar komunikasi, perihal baju barangkali mungkin saja bahan perenungan kita,
“I speak with my cloth. ” Saya bicara melalui baju saya. Pepatah, janganlah
menilai seorang dari penampilannya, tak akan valid dalam konteks ini. Pasalnya,
kesan pertama nampak dalam tiga detik pertemuan pertama serta sedikit yang
dapat kita ungkapkan melalui komunikasi verbal kurun waktu sesingkat itu. Terlebih,
kian lebih 80% wujud komunikasi kita yaitu komunikasi nonverbal, serta baju
yaitu satu diantara memiliki bentuk. EKA JANUWATI "
Tidak ada komentar:
Posting Komentar